Jakarta – Surat Berharga Negara masih menjadi penopang pendanaan oleh pemerintah untuk membiayai kebutuhan negara pada tahun 2025.
Kenaikan penerbitan surat utang negara diperkirakan dapat melampaui surat utang yang dikeluarkan perusahaan untuk kebutuhan ekspansi bisnis hingga pembayaran utang jatuh tempo.
Melansir Kompas.id, Pemerintah belum lama ini memastikan akan menarik utang baru sebesar Rp 775,86 triliun pada 2025, atau 19,7 persen dibandingkan target tahun 2024 yang sebesar Rp 648,1 triliun.
Target itu mayoritas akan dipenuhi melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 642,56 triliun, selain dari pinjaman sebesar Rp 133,30 triliun.
Di luar target tersebut, Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Irmawati Amran, mengatakan, suplai SBN pada tahun depan kemungkinan akan lebih banyak dengan tambahan kebutuhan refinancing atau membayar utang SBN yang jatuh tempo di 2025.
“Kita melihat, ada kemungkinan tahun depan pemerintah butuh hampir Rp 800 triliun untuk refinancing, lalu ada tambahan surat utang lagi, dengan rencana defisit APBN 2025, sekitar Rp 400 triliun – Rp 600 triliun. Jadi, pemerintah akan lebih banyak mengeluarkan surat utang tahun depan,” ungkapnya dalam paparan kepada media secara daring, Rabu (11/12/2024).
Dalam APBN 2025, pemerintah dan DPR RI telah menyepakati pendapatan negara sebesar Rp 3.005,1 triliun dan belanja negara sebesar Rp 3.621,3 triliun. Dengan demikian, defisit APBN 2025 akan sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai ini naik dari defisit sebesar Rp 522 triliun atau 2,29 persen di 2024.
Dengan kebutuhan dana yang bertambah, pemerintah menargetkan imbal hasil SBN tetap menarik di level 7 persen. Target ini dinilai kontradiktif dengan tren penurunan suku bunga dunia sejak September 2024 lalu.
Sementara itu, target ini berpotensi ikut mengerek imbal hasil atau suku bunga surat utang korporasi. Pefindo memproyeksikan, korporasi akan menerbitkan surat utang dengan kisaran nilai antara Rp 139 triliun – Rp 155 triliun di 2025. Adapun nilai outstanding atau nilai utang berjalan pada tahun yang sama diperkirakan mencapai Rp 150 triliun – Rp 155 triliun.
“Surat utang korporasi kemungkinan akan ditawarkan dengan kupon (bunga yang dibayarkan ke investor) kompetitif juga. Ini juga salah satu faktor, walau suku bunga acuan turun, tapi ada kompetisi dalam penerbitan surat utang, sehingga suplai akan lebih banyak dari permintaan dan cost of fund (tingkat bunga yang harus dikeluarkan penerbit surat utang) meningkat,” tutur Irmawati.
Ekonom Pefindo Suhindarto, menjelaskan, penerbitan surat utang untuk korporasi sejak 2024 didominasi untuk keperluan menambah modal kerja, selain untuk refinancing. Kebutuhan itu akan semakin meningkat dengan proyeksi perbaikan kondisi ekonomi di 2025.
Proyeksi itu, kata Suhindarto, didukung penurunan suku bunga acuan yang sejalan dengan ekspektasi pasar. Kemudian, likuiditas lembaga keuangan yang semakin ketat sehingga mendorong perusahaan mencari alternatif dana yang relatif murah, seperti obligasi.
Namun, dengan kecenderungan potensi penurunan suku bunga yang kaku, surat utang korporasi dengan tenor lebih panjang cenderung kurang menarik bagi investor. Hal ini dapat ditambah dengan potensi gangguan dari faktor geopolitik dan geoekonomi global di 2025.
Persaingan dengan SRBI
Di sisi lain, penyerapan penerbitan surat utang korporasi juga bisa melambat karena faktor penerbitan produk Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Sejak diperkenalkan pada 15 September 2024, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) menjadi salah satu instrumen pengelolaan likuiditas dalam bentuk rupiah berbasis SBN.
Suhindarto berpendapat, SRBI yang bertenor pendek, mayoritas 12 bulan, akan dibuat lebih menarik bagi investor asing guna menstabilkan rupiah di tengah kebijakan moneter yang masih akan kaku di tahun depan, karena ancaman pelemahan rupiah pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
“Faktor substitusi SRBI patut diwaspadai, karena produk ini jadi daya tarik asing, selain SBN yang memiliki tenor menengah,” kata Suhindarto.
Selama lebih dari setahun, nilai outstanding atau jumlah utang yang belum dikembalikan ke investor sampai dengan 4 Oktober 2024 telah mencapai Rp 928,2 triliun. Volume transaksi SRBI meningkat dari hanya Rp 1 triliun pada September 2023 menjadi Rp 12 triliun per Oktober 2024.
Deputi Direktur Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI), Dopul Rudy Tamba, di Kantor BEI, Oktober lalu menjelaskan, meski SRBI sudah menjalankan tugasnya untuk menstabilkan nilai tukar rupiah setahun terakhir, produk itu tidak akan dihentikan.
“Saat ini, SRBI masih jadi instrumen operasi moneter kontraksi utama di BI,” ungkapnya.
SRBI, dijelaskan Dopul, dapat diperjualbelikan di pasar sekunder di luar perbankan, seperti pengelola dana pensiun, asuransi, hingga reksa dana.
Comment