Boikot Produk Pro Israel Bikin Unilever ‘Sakit Kepala’

Ilustrasi Boikot produk pro Israel

Ilustrasi Boikot produk pro Israel. (Sumber: Istimewa)

Jakarta – Unilever menghadapi tantangan besar di Indonesia sebagai pasar utama di Asia Tenggara. Aksi Boikot Produk Pro Israel yang dipicu oleh dugaan dukungan perusahaan terhadap serangan militer Israel memperburuk posisi perusahaan, terutama di tengah persaingan dengan merek lokal yang menawarkan harga lebih kompetitif.

Sejak Februari tahun lalu, Unilever mengakui bahwa boikot terhadap produknya berdampak signifikan pada penjualan di Indonesia.

Pada kuartal ketiga 2023, pangsa pasar Unilever di negara ini turun dari 38,5% menjadi 34,9%.

Dengan kontribusi penjualan sebesar $2,39 miliar (setara 3,8% dari total global), Indonesia tetap menjadi pasar penting, meski penuh tantangan.

Konsumen Beralih ke Merek Lokal

Tantangan penetapan harga Unilever di Indonesia muncul karena data terkini menunjukkan bahwa ukuran kelas menengah Indonesia menyusut antara tahun 2019-2024 karena PHK dan berkurangnya kesempatan kerja, yang mendorong permintaan bahan makanan yang lebih murah, menurut asosiasi pengecer lokal Tutum Rahanta.

Merek lokal seperti Wings Group (SoKlin, Nuvo) dan Mayora Indah (Roma) berhasil mencuri perhatian konsumen Indonesia. Misalnya, deterjen cair SoKlin dijual 7% lebih murah daripada Rinso, sementara sabun cair Nuvo dihargai 20% lebih murah daripada Lifebuoy.

Faktor harga menjadi kunci, terutama karena kelas menengah Indonesia menyusut sejak 2019 akibat pengangguran dan penurunan daya beli.

Tidak hanya itu, pemain baru seperti Skintific dari Cina dan merek kecantikan halal lokal seperti Wardah dan Paragon turut memanaskan persaingan.

Unilever kini hanya memiliki satu merek, Royco, yang masuk dalam 10 besar merek konsumen di Indonesia pada 2023, dibandingkan tiga merek pada 2020.

Presiden Unilever Indonesia, Benjie Yap, mengakui bahwa perusahaan menghadapi tekanan berat.

“Kami memahami langkah-langkah yang harus diambil untuk beradaptasi dengan lanskap pasar yang berubah cepat,” ujarnya dikutip dari REUTERS, Jumat (10/1/2025).

Unilever kini berfokus pada harga yang lebih konsisten, distribusi produk yang lebih luas, dan optimalisasi penjualan daring.

Meski begitu, penurunan penjualan Unilever tetap signifikan. Pada kuartal ketiga, pendapatan dari kategori perawatan rumah dan pribadi turun 20,8%, sementara makanan dan minuman merosot 13,3%.

Boikot Produk Pro Israel Membawa Dampak Nyata

Boikot terhadap Unilever, didukung oleh aplikasi seperti “No Thanks,” memberikan tekanan tambahan. Aplikasi ini memungkinkan pengguna memindai produk untuk menentukan apakah mereka diproduksi oleh perusahaan yang mendukung tindakan tertentu, seperti keberadaan di Israel.

Dengan basis pengguna yang diklaim mencapai 7 juta, aksi ini memengaruhi perilaku konsumen Muslim, yang merupakan 87% populasi Indonesia.

Riska Rahman, seorang ibu rumah tangga, mengaku berhenti membeli produk Unilever seperti Rinso, Rexona, dan Pepsodent.

“Kami langsung memotong semuanya,” katanya.

Persaingan di Masa Depan

Sementara pasar perawatan rumah dan makanan kemasan di Indonesia diprediksi tumbuh masing-masing 11,5% dan 11,7% pada 2023, Unilever masih harus bersaing dengan promosi agresif dari merek lokal dan asing, terutama di e-commerce.

Analis DBS Bank bahkan menurunkan peringkat bisnis Unilever di Indonesia menjadi “fully valued,” mencerminkan tantangan besar yang dihadapi perusahaan ini di masa depan.

Comment