Pentingnya Kesadaran Lingkungan dalam Dakwah

Imam Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation

Imam Shamsi Ali, Direktur Jamaica Muslim Center & Presiden Nusantara Foundation

Salah satu aspek mendasar bagi setiap Muslim, terutama bagi para guru (asatidz) dan pendakwah (du’aat), adalah kesadaran lingkungan. Ini mengacu pada kemampuan untuk menyadari keadaan sekitar dan segala hal yang berkaitan dengannya. Dalam istilah tradisional, kesadaran ini dikenal sebagai memahami situasi dan kondisi di sekitar mereka.

Nabi Muhammad (SAW) adalah sosok yang selalu menyadari lingkungannya. Dengan kata lain, beliau selalu mempertimbangkan situasi dan kondisi di sekitarnya dalam setiap keputusan yang diambil, baik pada tingkat individu maupun kolektif.

Ada satu kisah ketika seorang pemuda mendatangi Nabi Muhammad (SAW) dan, tanpa ragu, meminta izin untuk melakukan perbuatan keji (zina). Sikap pemuda tersebut tampak berlebihan, seolah-olah ia menganggap Nabi memiliki wewenang untuk menentukan apa yang halal atau haram.

Respon Nabi bukanlah kemarahan atau reaksi berlebihan. Sebaliknya, beliau melihat nilai positif dalam tindakan pemuda tersebut. Pemuda itu memiliki iman dan kejujuran tentang perjuangan yang dihadapinya. Kejujuran inilah yang membawanya untuk mendekati Nabi dan mengungkapkan kegelisahan batinnya.

Nabi kemudian bertanya kepada pemuda itu apakah dia memiliki ibu, saudara perempuan, atau bibi. Setelah pemuda itu menjawab bahwa dia memilikinya, Nabi bertanya apakah dia rela jika orang lain melakukan perbuatan serupa dengan ibu, saudara perempuan, atau bibinya. Pemuda itu menjawab bahwa dia tidak akan rela.

Nabi memahami bahwa pemuda tersebut sebenarnya tahu bahwa perbuatan itu salah. Beliau ingin menekankan aspek positif dalam hidup pemuda itu dan membantunya mengatasi pergumulannya. Nabi meletakkan tangannya di dada pemuda itu dan berdoa, “Ya Allah, bersihkan hatinya, karena Engkau adalah yang terbaik dalam menyucikan hati.”

Setelah kejadian ini, pemuda tersebut menjadi salah satu sahabat yang paling taat. Kisah ini menunjukkan kesadaran Nabi terhadap lingkungannya dan kemampuannya untuk merespon dengan bijak.

Pendekatan Nabi selalu berbeda, tergantung pada individu dan keadaan mereka. Beliau memperlakukan Abu Bakar (RA) secara berbeda dari Umar (RA). Ketika ditanya tentang amal terbaik dalam Islam, jawaban Nabi pun bervariasi tergantung pada siapa yang bertanya.

Kadang beliau menjawab jihad di jalan Allah, di lain waktu beliau mengatakan berbuat baik kepada orang tua. Dalam kesempatan lain, beliau menyebutkan melaksanakan ibadah haji. Variasi jawaban ini menunjukkan kesadaran Nabi terhadap kondisi individu dan kemampuannya memberikan bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Kesadaran lingkungan sangat penting dalam menyampaikan kebenaran. Jika seseorang tidak sadar akan lingkungannya, komunikasi mereka mungkin terdengar tidak sensitif dan bahkan menyakitkan. Dalam konteks dakwah, ketidaksadaran terhadap lingkungan dapat menyebabkan komunikasi yang lebih cenderung menjauhkan orang dari kebenaran daripada menarik mereka mendekat.

Nabi Diutus dari Kalangan Kaumnya

Pentingnya kesadaran lingkungan juga tercermin dalam fakta bahwa setiap nabi diutus dari kalangan kaumnya sendiri. Nabi Muhammad (SAW), sebagai nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia, juga dibesarkan dari kalangan kaumnya sendiri.

Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dia (Allah) mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri.” Frasa “minhum” (dari kalangan mereka sendiri) menegaskan pentingnya nabi berasal dari komunitas yang sama dengan orang-orang yang ia bimbing.

Hal ini relevan saat ini, karena menekankan perlunya Muslim untuk berintegrasi secara positif (bukan berasimilasi) ke dalam komunitas mereka. Integrasi ini tidak berarti kehilangan identitas atau nilai-nilai, melainkan menjadi anggota masyarakat yang aktif dan berkontribusi, sambil tetap menjaga iman dan prinsip.

Hubungan antara Agama dan Budaya

Islam tidak bertujuan untuk mengubah praktik budaya suatu komunitas selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, nilai-nilai, dan etika manusia universal. Islam menghormati semua praktik budaya manusia, selama sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

Namun, penting untuk membedakan antara praktik agama dan tradisi budaya. Dalam banyak komunitas Muslim, praktik budaya sering kali disalahartikan sebagai kewajiban agama.

Sebagai contoh, di beberapa komunitas, mengenakan pakaian tertentu, seperti jubah (pakaian Timur Tengah) atau shalwar kameez (pakaian Asia Selatan), dianggap sebagai kewajiban agama. Namun, hal ini tidak benar. Kewajiban Islam adalah berpakaian secara sopan dan menutup aurat.

Kisah Sederhana namun Bermakna

Di komunitas kami di New York, saya mengingat sebuah kisah sederhana namun bermakna. Suatu fajar, setelah ceramah singkat usai salat, seorang jamaah mendekati saya dengan mata berlinang. Pagi itu, saya membahas bahaya tersembunyi yang mengancam masa depan Muslim di Amerika. Ketika saya bertanya apa yang salah, dia menjawab, “Anak saya. Tolong bantu saya.”

Saya menanyakan tentang anaknya, dan dia menjelaskan bahwa putranya tidak lagi mau ke masjid. Jamaah ini dikenal sangat taat, jarang melewatkan salat fajar di masjid. Dengan air mata mengalir, dia berkata, “Dia tidak mau datang ke masjid lagi.”

Saya mencoba memahami alasannya. Beberapa hari kemudian, saya mengunjungi rumah mereka dan mengajak putranya ke sebuah restoran. Sambil minum teh, saya bertanya, “Mengapa kamu tidak ingin ke masjid lagi?”

Dia terlihat tenang, bahkan tersenyum kecil, lalu menjawab, “Bukan karena saya tidak ingin ke masjid. Saya suka salat di sana. Tapi setiap kali saya datang, ayah saya selalu mengkritik pakaian saya sebagai tidak Islami.”

Saya segera memahami masalahnya. Sang ayah, meskipun sangat religius, kesulitan membedakan antara ajaran agama dan tradisi budaya. Akibatnya, dia secara tidak sengaja membuat putranya merasa tidak diterima di masjid hanya karena pakaiannya.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di komunitas kami; ini terjadi di seluruh dunia Muslim. Saya tidak meremehkan niat baik mereka yang mengenakan pakaian tradisional, seperti jubah atau shalwar kameez, sebagai bentuk mengikuti Sunnah. Namun, menilai keimanan seseorang berdasarkan pakaian adalah keliru.

Nabi Muhammad (SAW) mengenakan jubah, tetapi begitu pula Abu Lahab. Jadi, bagaimana kita bisa menentukan apakah memakai jubah benar-benar mengikuti Sunnah? Jawabannya ada pada Allah, yang menilai niat kita. Sementara pakaian yang menutup aurat memang sesuai dengan Sunnah, aspek lain dari pakaian harus dipahami sebagai bagian dari praktik budaya manusia.

Avatar Imam Shamsi Ali

Comment