Saya masih ingat beberapa tahun yang lalu, Amerika Serikat mengalami gejolak. Protes, kekerasan, dan penjarahan meletus di lebih dari 30 kota di 50 negara bagian. Kerusuhan bahkan mencapai Gedung Putih, memaksa Presiden saat itu dan keluarganya berlindung di bunker.
Sebagian mungkin masih ingat, pemicu protes tersebut adalah kematian George Floyd, seorang pria Afrika-Amerika, di tangan polisi Minneapolis. Kematian Floyd, bersama dengan banyak kasus serupa sebelumnya, mengangkat kembali isu rasisme, ketidakadilan, dan diskriminasi terhadap minoritas di Amerika yang telah lama membara.
Sejarah rasisme di Amerika Serikat sebenarnya panjang dan menyakitkan. Mungkin tidak berlebihan jika menyebut perilaku rasis sebagian orang Amerika sebagai “dosa asal”. Penduduk asli Amerika, yaitu suku Indian, adalah kelompok pertama yang mengalami marginalisasi dan penghancuran sistematis oleh para imigran Eropa.
Saat imigran Eropa menetap di Amerika, penduduk asli diperlakukan dengan buruk dan tidak adil. Mereka dipaksa hidup di daerah yang kurang berkembang dan secara bertahap dimarginalkan serta dihilangkan.
Sejarah kelam ini mengingatkan kita pada peribahasa Indonesia, “susu dibalas air tuba”. Kebaikan dan penerimaan penduduk asli Amerika terhadap imigran Eropa justru dibalas dengan perilaku kejam dan rasis oleh para pendatang tersebut.
Perlakuan buruk terhadap non-kulit putih di Amerika berlanjut dengan perbudakan terhadap orang Afrika-Amerika, yang dibawa ke negara ini sebagai budak. Banyak dari mereka adalah Muslim, dan fakta ini semakin jelas seiring dengan semakin banyaknya orang Afrika-Amerika yang kembali kepada Islam.
Sejarah rasisme di Amerika tidak bisa disangkal. Gerakan hak-hak sipil pada tahun 1960-an, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Martin Luther King Jr. dan Malcolm X, lahir sebagai respons terhadap rasisme sistemik yang dialami oleh warga Afrika-Amerika.
Rasisme juga menimpa orang Asia-Amerika, terutama warga Jepang-Amerika, yang dikurung di kamp konsentrasi selama Perang Dunia II. Demikian pula, komunitas Hispanik dan Amerika Latin mengalami diskriminasi dan rasisme.
Dalam beberapa tahun terakhir, Islamofobia semakin meningkat. Serangan 9/11 menjadi titik balik dalam maraknya sentimen anti-Muslim. Kebijakan pemerintahan saat ini hanya memperburuk masalah tersebut.
Sebagai seorang Muslim, saya sangat percaya bahwa larangan imigrasi Muslim yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump selama masa jabatannya adalah kebijakan diskriminatif dan rasis. Kebijakan tersebut tidak sejalan dengan nilai-nilai Amerika maupun Konstitusi.
Kenyataan bahwa rasisme di Amerika masih ada adalah masalah yang harus diselesaikan secara kolektif. Ini bukan penyakit yang hanya menyerang kelompok ras atau etnis tertentu, melainkan penyakit mental yang muncul dari perasaan superioritas berdasarkan warna kulit, ras, atau etnis.
Insiden seperti kematian George Floyd dan banyak lainnya harus menjadi peringatan bagi Amerika untuk memperbaiki jalannya. Rasisme adalah musuh bersama yang harus diperangi bersama.
Mulai dari pemuka agama dan komunitas, pendidik dan institusi pendidikan, seniman dan industri Hollywood, hingga pemimpin bisnis dan pelaku pasar, semua memiliki tanggung jawab untuk melawan rasisme.
Namun, tanggung jawab terbesar ada pada mereka yang berkuasa, terutama pemerintah. Mereka memiliki otoritas moral dan konstitusional untuk melakukan perubahan sistemik dalam melawan rasisme.
Masalah muncul ketika mereka yang berkuasa justru menunjukkan kecenderungan rasis. Ketika komunitas minoritas bangkit melawan ketidakadilan, mereka sering kali dihadapi dengan permusuhan dan diberi label sebagai perusuh atau teroris.
Sebaliknya, ketika kelompok supremasi kulit putih menyerang komunitas minoritas, termasuk Muslim, Hispanik, dan Afrika-Amerika, responsnya sering kali lemah, bahkan terkadang mendapat dukungan dari mereka yang berkuasa.
Saya tidak membenarkan penjarahan atau tindakan melawan hukum dalam bentuk apa pun. Namun, saya memahami bahwa ekspresi kemarahan dan frustrasi sering kali muncul sebagai akibat dari suara yang tak didengar dalam melawan rasisme dan ketidakadilan.
Selama rasisme dan ketidakadilan masih ada, perlawanan akan terus berlanjut. Di mana tidak ada keadilan, di situ tidak akan ada kedamaian. Tanpa keadilan, perlawanan akan tumbuh, yang pada akhirnya menciptakan rasa ketidakamanan dalam masyarakat.
Di saat-saat seperti ini, kepemimpinan yang bijaksana sangat dibutuhkan. Kepemimpinan ini bukan soal menunjukkan kekuasaan dengan cara yang arogan, tetapi tentang benar-benar mendengarkan dan menangani keluhan komunitas yang termarginalkan.
Saya berharap Amerika akan menyadari realitas rasisme dan mengambil tindakan kolektif untuk mengatasinya.

Comment